Keraton Yogyakarta, atau dikenal juga sebagai Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, bukanlah semata sebuah bangunan bersejarah yang megah; ia merupakan simbol yang mendalam dari kekuatan budaya dan sejarah yang melimpah dari Jawa. Berdiri kokoh sejak tahun 1755 atas gagasan Sri Sultan Hamengkubuwono I, keraton ini bersumber dari Perjanjian Giyanti yang membawa pada pembagian Kerajaan Mataram Islam menjadi dua wilayah yang saling mandiri.
Pendirian Keraton Yogyakarta: Menyusuri Jejak Perjalanan Bersejarah
Peristiwa penandatanganan Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 menjadi tonggak sejarah yang memisahkan Kerajaan Mataram Islam. Pangeran Mangkubumi, yang kemudian diangkat sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono I, diberi wilayah pertama yang kemudian dikenal sebagai Kasultanan Ngayogyakarta, sedangkan bagian kedua, Kasunanan Surakarta, diserahkan kepada Pakubuwono III.
Tanggal 9 Oktober 1755 memulai babak baru dalam sejarah dengan dimulainya pembangunan Keraton Yogyakarta. Proses pembangunan yang berlangsung hampir satu tahun itu disertai dengan kediaman sementara Sultan Hamengku Buwono I dan keluarganya di Pesanggrahan Ambar Ketawang.
Kosmologi Jawa dan Tata Letak Keraton: Menggali Makna dalam Desain Arsitektur yang Mengagumkan
Keraton Yogyakarta bukan sekadar sebuah bangunan fisik; ia adalah perwujudan dari pemahaman mendalam akan kosmologi Jawa yang melandasi setiap aspek desainnya. Salah satu aspek yang sangat menarik adalah posisi keraton yang dianggap sebagai mikrokosmos, yang berada di tengah-tengah alam semesta, dengan analogi penuh makna terhadap kura-kura dalam mitologi Hindu-Buddha yang bertindak sebagai penyangga dunia.
Dalam kosmologi Jawa, konsep "bumi" sering kali dianggap sebagai sebuah entitas yang hidup. Keraton Yogyakarta, yang dibangun di atas sebuah bukit yang berbatasan dengan aliran Sungai Code, ditempatkan di tengah-tengah "punggung kura-kura", sesuai dengan keyakinan bahwa kura-kura adalah simbol kestabilan, kelangsungan hidup, dan ketahanan. Oleh karena itu, posisi keraton dianggap sebagai pusat dari alam semesta yang hidup.
Tata letak Keraton Yogyakarta juga mencerminkan kosmologi Jawa dengan detail yang halus. Struktur-struktur penting seperti pendopo, bangsal, dan alun-alun disusun sedemikian rupa untuk menciptakan harmoni antara alam dan manusia, serta antara makhluk hidup dan makhluk tak hidup. Bahkan, arsitektur Keraton Yogyakarta memperlihatkan hubungan yang erat antara manusia, alam, dan alam semesta secara keseluruhan.
Dengan memahami konsep ini, kita dapat lebih menghargai tidak hanya keindahan visual dari arsitektur Keraton Yogyakarta, tetapi juga kedalaman makna dan filosofi yang menyertainya. Ini mengajarkan kita bahwa budaya Jawa bukan sekadar warisan historis, tetapi juga sebuah sistem pemikiran yang memandu kehidupan sehari-hari dan memperkuat hubungan manusia dengan alam semesta. Sebagai hasilnya, kunjungan ke Keraton Yogyakarta bukan hanya sebuah pengalaman wisata, tetapi juga sebuah perjalanan mendalam ke dalam budaya dan spiritualitas Jawa yang kaya dan menakjubkan.
Kebermanfaatan Keraton Yogyakarta berada di punggung kura-kura
Posisi Keraton Yogyakarta yang berada di "punggung kura-kura" atau yang dalam bahasa Jawa disebut "Bathok Bulus" merujuk pada permukaan tanah di lokasi keraton yang merupakan gundukan lebih tinggi dibandingkan permukaan tanah di sekitarnya. Manfaat dari posisi ini adalah:
1. Pencegahan Banjir:
Posisi yang lebih tinggi ini membuat Keraton Yogyakarta terhindar dari banjir meski hujan deras mengguyur. Ini sangat penting untuk menjaga kestabilan dan keberlanjutan keraton sebagai pusat pemerintahan dan budaya.
2. Visibilitas:
Posisi yang lebih tinggi ini juga membuat Keraton Yogyakarta mudah terlihat oleh masyarakat. Hal ini penting dalam konteks simbolis, dimana keraton sebagai pusat pemerintahan harus mudah dijangkau dan dikenali oleh rakyatnya.
3. Harmoni dengan Alam:
Dalam mitologi Jawa, konsep "Palemahan" (hubungan harmonis antara umat manusia dengan alam lingkungan), "Pawongan" (hubungan harmonis antara sesama umat manusia), dan "Parahyangan" (hubungan harmonis antara manusia dengan Pencipta) sangat penting. Dalam konsep ini, Keraton Yogyakarta berada di tengah dua kekuatan alam, yakni Gunung Merapi di utara dan Pantai Selatan di sisi selatan. Posisi ini mencerminkan keseimbangan dan harmoni dengan alam.
4. Kesejahteraan Masyarakat:
Keraton Yogyakarta juga berada di antara dua sungai besar, yaitu Sungai Code di timur dan Winongo di barat. Keberadaan sungai ini dianggap menunjang kesejahteraan masyarakat sebagai sumber pengairan dan perekonomian.
Dengan demikian, posisi Keraton Yogyakarta yang berada di "punggung kura-kura" memiliki manfaat yang signifikan baik dari segi praktis maupun simbolis.
Keraton Yogyakarta bukan hanya sekadar struktur fisik, melainkan simbol kebesaran budaya Jawa yang mendalam. Dari peristiwa pembentukannya melalui Perjanjian Giyanti hingga dasar kosmologinya, keraton ini menawarkan wawasan yang mendalam tentang warisan budaya Jawa. Keberagaman dan kompleksitasnya menjadikannya sebagai sumber pengetahuan yang tak ternilai tentang sejarah dan budaya Jawa yang kaya. Melalui pemahaman yang lebih dalam, kita dapat lebih menghargai dan memahami keunikan serta kekayaan budaya Jawa yang telah menginspirasi generasi demi generasi.