Kura-kura, hewan yang telah ada sejak 208 juta tahun lalu, memiliki peran penting dalam sejarah dan mitologi di Jawa. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi peran dan simbolisme kura-kura dalam berbagai aspek budaya Jawa, mulai dari pewayangan hingga kerajaan-kerajaan di Jawa. Kita juga akan membahas beberapa cerita dan legenda yang melibatkan kura-kura, serta bagaimana hewan ini digambarkan dalam seni dan arsitektur. Mari kita mulai perjalanan ini dan menemukan lebih banyak tentang makna dan simbolisme kura-kura dalam budaya Jawa.


Kura-Kura dalam Mitologi, Sejarah, dan Kerajaan: Eksplorasi Simbolisme dan Cerita


Kura-Kura dalam Pewayangan

Dalam dunia pewayangan, kura-kura memiliki peran yang sangat penting dan unik. Kura-kura sering kali dianggap sebagai simbol kebijaksanaan dan kesabaran, dua nilai yang sangat dihargai dalam budaya Jawa.

Salah satu tokoh pewayangan yang terkenal dan sering kali digambarkan dengan postur yang mirip dengan kura-kura adalah Semar. Semar adalah tokoh yang sangat dihormati dalam pewayangan karena kebijaksanaan dan pengetahuannya yang luas. Meskipun bentuk fisiknya sederhana dan tidak menarik, Semar sering kali menjadi penasihat utama bagi para ksatria dalam cerita pewayangan.

Postur Semar yang mirip dengan kura-kura bukanlah kebetulan. Ini adalah simbol dari kebijaksanaan dan kesabaran yang dimilikinya. Seperti kura-kura yang bergerak lambat namun selalu mencapai tujuannya, Semar juga selalu memiliki solusi bijaksana untuk setiap masalah yang dihadapi oleh para ksatria.

Selain itu, dalam beberapa cerita pewayangan, kura-kura juga digambarkan sebagai makhluk yang memiliki umur panjang dan bisa berbicara dengan manusia. Ini menambah lapisan lain dari simbolisme kura-kura dalam pewayangan, yaitu sebagai perantara antara manusia dan alam semesta.

Dalam pewayangan dan mitologi Jawa, kura-kura sering kali dihubungkan dengan simbolisme dan cerita-cerita spiritual. Salah satu contoh terkenal adalah dalam cerita tentang Dewa Wisnu dalam mitologi Hindu, yang turun ke dunia dalam wujud kura-kura raksasa (Kurma) untuk menyelamatkan jagad raya dari bencana dahsyat.

Namun, perlu dicatat bahwa dalam konteks pewayangan, tidak banyak tokoh yang secara eksplisit digambarkan sebagai kura-kura, seperti halnya Semar yang memiliki postur mirip kura-kura. Kura-kura lebih sering muncul sebagai simbol atau bagian dari cerita dan mitologi.


Dewa Wisnu berwujud kura-kura raksasa

Dalam agama Hindu, Kurma adalah awatara (penjelmaan) kedua Dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Ksirasagara atau Ksirarnawa).

Cerita ini bermula ketika para dewa dan asura (raksasa) bersidang di puncak gunung Meru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Atas saran Nārāyana (Wisnu), mereka mencarinya di lautan susu atau laut Ksira.

Sebagai tongkat pengaduk lautan, mereka memilih sebuah gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka). Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantaboga. Setelah mendapat izin dari Baruna (Dewa Samudra), mereka membawa gunung Mandara ke tengah laut Ksira.

Kurma menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam. Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas.

Setelah siap, para dewa dan asura mulai memutar gunung Mandara. Para dewa memegang ekornya sedangkan para asura memegang kepalanya. Mereka berjuang mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh.

Gunung Mandara menyala, sementara Basuki menyemburkan bisa yang membuat pihak asura kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.

Setelah sekian lama, tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih. Itulah cerita tentang Dewa Wisnu dalam wujud kura-kura raksasa, yang menunjukkan kebijaksanaan dan kekuatan Dewa Wisnu dalam menyelamatkan dunia.

Secara keseluruhan, kura-kura dalam pewayangan bukan hanya sekedar hewan biasa. Mereka adalah simbol dari kebijaksanaan, kesabaran, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Mereka membantu kita memahami nilai-nilai penting dalam budaya Jawa dan bagaimana nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.


Kura-Kura dalam Mitologi, Sejarah, dan Kerajaan: Eksplorasi Simbolisme dan Cerita


Simbolisme Kura-Kura dalam Kerajaan Jawa

Dalam kerajaan Jawa, kura-kura memiliki simbolisme yang kuat dan mendalam. Misalnya, dalam Keraton Yogyakarta, ada sebuah bangunan bernama Taman Sari yang memiliki kolam berbentuk kura-kura. Kolam ini melambangkan filosofi Jawa tentang kehidupan dan alam semesta.

Taman Sari sendiri adalah sebuah taman atau kebun istana Keraton Yogyakarta yang dibangun secara bertahap pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kompleks ini memiliki luas lebih dari 10 hektar dengan  bangunan di dalamnya, termasuk gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, danau buatan, pulau buatan, masjid, dan lorong bawah tanah.

Selain Taman Sari, kura-kura juga sering muncul dalam relief dan arca di berbagai candi peninggalan kerajaan di Nusantara. Misalnya, dalam situs-situs Gunung Lawu masa Majapahit akhir (XV-XVI Masehi), kura-kura berbentuk arca penuh banyak ditemukan, khususnya di Candi Sukuh dan Cetho.

Kura-kura dalam konteks ini tidak hanya dianggap sebagai hewan biasa, tetapi juga sebagai simbol kebijaksanaan, kesabaran, dan filosofi hidup. Mereka membantu kita memahami nilai-nilai penting dalam budaya Jawa dan bagaimana nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kura-kura, atau Testudinidae, adalah hewan yang telah ada sejak 208 juta tahun lalu. Dalam bahasa Sanskerta, kura-kura disebut Kurma atau Akupara. Kura-kura memiliki peran penting dalam sejarah dan mitologi Nusantara, dan sering kali dihiasi dalam berbagai cerita dan peninggalan kerajaan dalam bentuk relief, komponen candi, dan arca.


Kura-kura dalam lambang Kerajaan Majapahit

Misalnya, pada masa Kerajaan Majapahit, kura-kura dianggap sebagai lambang Majapahit yang disebut Surya Majapahit. Di Candi Cetho, sebuah peninggalan Kerajaan Majapahit di Karanganyar, terdapat susunan batu yang membentuk kura-kura.

Secara umum, kura-kura memiliki peran penting dalam mitologi Nusantara, terutama dalam hubungannya dengan mitos kura-kura penyangga bumi, sebagaimana sudah dijelaskan tentang Dewa Wisnu di atas.

Surya Majapahit adalah lambang yang sering ditemukan dalam reruntuhan bangunan dari era Majapahit. Lambang ini mengambil bentuk Matahari bersudut delapan dengan bagian lingkaran di tengah menampilkan dewa-dewa Hindu. Lambang ini membentuk diagram kosmologi yang disinari jurai Matahari khas "Surya Majapahit", atau lingkaran Matahari dengan bentuk jurai sinar yang khas.

Kura-kura dalam konteks ini diperkirakan merupakan lambang Majapahit yang disebut Surya Majapahit. Dalam beberapa peninggalan kerajaan, kura-kura sering muncul dalam bentuk arca atau relief. Misalnya, di Candi Cetho, sebuah peninggalan Kerajaan Majapahit di Karanganyar, terdapat susunan batu yang membentuk kura-kura.

Kura-kura dalam konteks ini tidak hanya dianggap sebagai hewan biasa, tetapi juga sebagai simbol kebijaksanaan, kesabaran, dan filosofi hidup. Mereka membantu kita memahami nilai-nilai penting dalam budaya Jawa dan bagaimana nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.


Kura-kura di Candi Cetho

Candi Cetho adalah sebuah peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berada pada ketinggian 1400 meter di atas permukaan laut dan dikenal dengan keindahan alam sekitarnya.

Salah satu elemen menarik dari Candi Cetho adalah susunan batu yang membentuk kura-kura. Kura-kura ini diperkirakan merupakan lambang Majapahit yang disebut Surya Majapahit. Surya Majapahit adalah lambang yang sering ditemukan dalam reruntuhan bangunan dari era Majapahit. Lambang ini mengambil bentuk Matahari bersudut delapan dengan bagian lingkaran di tengah menampilkan dewa-dewa Hindu.

Susunan batu yang membentuk kura-kura ini memiliki makna yang mendalam. Dalam konteks ini, kura-kura tidak hanya dianggap sebagai hewan biasa, tetapi juga sebagai simbol kebijaksanaan, kesabaran, dan filosofi hidup. Mereka membantu kita memahami nilai-nilai penting dalam budaya Jawa dan bagaimana nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, di bagian punggung garuda ada susunan batu yang membentuk kura-kura dan di atas kepalanya ada susunan batu berbentuk matahari bersinar, segitiga sama kaki, dan arca Kalacakra atau kelamin laki-laki. Burung garuda diyakini sebagai kendaraan Wisnu yang melambangkan dunia atas, sedangkan kura-kura menjadi simbol dunia bawah.


Kura-kura emas Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai, yang berlokasi di hulu Sungai Mahakam di wilayah Muara Kaman (sekarang menjadi bagian dari Kalimantan Timur), dikenal sebagai kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Salah satu peninggalan yang cukup unik dari Kerajaan Kutai adalah kura-kura emas.

Kura-kura emas ini ditemukan di daerah Long Lalang, dekat Sungai Mahakam. Menurut sejarah, kura-kura emas ini digunakan sebagai persembahan oleh pangeran dari kerajaan China kepada Aji Bidara Putih, salah satu putri Raja Kutai. Kura-kura tersebut dijadikan sebagai bukti bahwa ada pangeran yang hendak mempersunting sang putri.

Kura-kura emas ini berukuran sebesar setengah kepalan tangan dan saat ini masih tersimpan di Museum Mulawarman. Benda ini tidak hanya menjadi bukti keberadaan kerajaan Kutai, tetapi juga mengandung cerita-cerita yang menggugah tentang hubungan antar kerajaan di masa lalu.

Secara keseluruhan, peninggalan kura-kura emas ini memberikan kita gambaran tentang budaya dan sejarah Kerajaan Kutai, serta hubungan diplomatik dan pernikahan antara kerajaan di Nusantara dengan kerajaan lain di Asia.


Kura-kura di Candi Jago

Candi Jago, yang juga dikenal sebagai Candi Jajaghu, adalah peninggalan dari masa Kerajaan Singosari dan terletak di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang. Candi ini memiliki banyak relief yang menggambarkan berbagai cerita dan mitologi, salah satunya adalah relief kura-kura.

Relief kura-kura ini terletak pada bagian penampil menghadap ke selatan dan terbagi dalam beberapa panel. Relief ini menggambarkan adegan seekor burung angsa yang membawa terbang dua ekor kura-kura. Kura-kura tersebut dipahatkan dalam posisi menggantung dengan cara menggigit pada masing-masing ujung tongkat kayu yang dibawa terbang oleh burung angsa.

Cerita ini harus diikuti dari sebelah kanan ke kiri, berlainan dengan relief lain di Candi Jago. Cerita ini berasal dari kitab Tantri Kamandaka, yang merupakan kumpulan cerita binatang atau fabel. Cerita ini pada intinya adalah ajaran tentang budi pekerti, dimana binatang bisa saling bersahabat dan membalas budi, tapi sebaliknya manusia bisa saling merendahkan.


Secara keseluruhan, simbolisme kura-kura dalam kerajaan Jawa mencerminkan kekayaan dan kedalaman budaya dan filosofi Jawa, serta hubungan erat antara manusia, alam, dan alam semesta.

Kura-kura memiliki peran yang penting dalam mitologi dan sejarah Jawa. Baik dalam pewayangan maupun dalam simbol-simbol kerajaan, kura-kura selalu menjadi simbol kebijaksanaan, kesabaran, dan filosofi hidup.

Melalui penjelajahan ini, kita telah melihat bagaimana kura-kura, hewan yang tampaknya sederhana, memiliki makna yang mendalam dalam budaya dan sejarah Jawa. Dari pewayangan hingga kerajaan-kerajaan di Jawa, kura-kura muncul sebagai simbol kebijaksanaan, kesabaran, dan filosofi hidup. Cerita dan legenda yang melibatkan kura-kura memberikan kita wawasan tentang nilai-nilai penting dalam budaya Jawa dan bagaimana nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.